Orang Mandailing Bukan Batak
Posted 22 April, 2008
on: Penjajah Inggeris memakai stilah “foreign Malays” untuk merujuk kepada orang Mandailing dengan alasan kemudahan administratif (administrative convinience).
Pada mulanya, kategori Mandailing dan Batak terpisah dalam sensus-sensus British Malaya, kemudian kedua kategori tersebut dihapuskan menyebabkan orang Batak maupun orang Mandailing memilih masuk Melayu’ atau menjadi Melayu dalam pengambilan sensus.
NAMA
Mandailing sudah diketahui sejak abad ke 14, dan ini menunjukkan adanya
satu bangsa dan wilayah bernama Mandailing, yang barangkali telah
muncul sebelum abad itu lagi. Nama Mandailing tersebut dalam kitab
Nagarakretagama yang mencatat perluasan wilayah Majapahit sekitar 1365
M. Batak tidak disebut sekalipun dalam kitab tersebut.
Nama Batak itu sendiri tidak diketahui dengan pasti asal-usulnya. Ada
yang berpendapat istilah Batak itu digunakan oleh orang pesisir seperti
orang Melayu untuk memanggil orang di pedalaman Sumatra, Batak,
sepertimana orang Melayu memanggil ‘orang asli’, Sakai dan Jakun. Tapi
orang pedalaman sendiri tidak membahasakan diri mereka, Batak. Kemudian
panggilan ini dipetik oleh pengembara seperti Marco Polo, Ibnu Batutah,
dan diambil oleh Portugis dan orang-orang dari atas angin dan bawah
angin, hinggalah ke ini hari.
Bila Belanda menguasai kesultanan-kesultanan Melayu mereka bukan saja
memasukkan kesultanan-kesultanan tersebut ke dalam sistem kolonial,
sekaligus mereka juga mengambil-alih pemisahan Batak-Melayu. Persepsi
Belanda terhadap orang-orang pedalaman termasuk terhadap bangsa/umat
Mandailing dipengaruhi oleh persepsi kesultanan-kesultanan Melayu dan
Minang, dan orang-orang pesisir, yang mereka dului berinteraksi.
Lama-kelamaan
memBatakkan bangsa/umat Mandailing membudaya dalam persepsi, tanggapan,
tulisan-tulisan, dan sensus administratif Belanda hinggakan sesetengah
orang Mandailing sendiri mulai melihat diri mereka dari persepsi
penjajah yang melihat dari kacamata Melayu. Bangsa/umat Mandailing
dikatogerikan bersama-sama dengan bangsa Toba, Pak-pak, Dairi,
Simalungun dan Karo untuk tujuan administratif umum di samping menjadi
sasaran zending/Kristenisasi.
Pandangan berikut dari sarjana-sarjana Barat seperti Lance Castles adalah tipikal :
“The use of ‘Batak’ as a common label for these groups (Toba, Mandailing dan Simalungun) as well as the Karo and Dairi has a chequered career. Linguists and ethnologists have always found the term necessary because of the strong common elements in all these societies. At some periods, however, those who were converted to Islam, especially Mandailings, have sought to repudiate any association with the non-Muslim Tobas by rejecting the Batak label altogether. This tendency has been strongest among Mandailing migrants to the East Coast of Sumatra and Peninsular Malaysia.”
(Pengunaan
istilah ‘Batak’ sebagai label yang umum untuk kelompok-kelompok ini
(Toba, Mandailing dan Simalungun) sebagaimana juga dengan Karo dan Dairi
mempunyai sejarah yang berpetak-petak. Ahli-ahli bahasa dan etnologi
senantiasa mendapati bahwa istilah ini merupakan istilah yang diperlukan
dikarenakan adanya elemen umum yang kuat di dalam tiap-tiap kelompok
ini. Pada periode tertentu, mereka yang kemudian memeluk Islam, terutama
orang Mandailing telah berusaha untuk tidak dihubungkan sama sekali –
hubungan dengan non-Muslim Toba dengan menolak label Batak secara
keseluruhan. Kecenderungan ini telah terjadi terkuat di antara orang
Mandailing perantauan di Pantai Timur Sumatra dan Semenanjung Malaysia).
Sementara sarjana Barat seperti Susan Rogers Siregar, agak peka dan mengerti sedikit.“Much of the Western literature asserts that there are six major Batak cultures: Toba, Karo, Dairi-Pakpak, Simalungun, Angkola, and Mandailing. This division into ethnic units is somewhat misleading, however, since villagers often have little use for such general words as ‘Angkola’ and identitfy themselves in much more local terms as members of a ceremonial league or a group of village clusters. The sixfold ethnic division may reflect relatively new ethnic designations as members of different homeland groups come into contact and competition with each other”.
(Kebanyakan literatur Barat menegaskan bahwa ada enam budaya Budaya
yang utama: Toba, Karo, Dairi, Pakpak, Simalungun, Angkola dan
Mandailing. Pembagian ke dalam beberapa kelompok-kelompok etnik ini,
menyesatkan, lantaran penduduk desa umum tidak banyak menggunakan
perkataan seperti ‘Angkola’ dan mengidentifikasikan diri mereka dalam
istilah yang lebih lokal sebagai ‘anggota dari perhimpunan adat’ atau
sebuah kelompok perkampungan. Pembagian enam etnik tersebut mencerminkan
secara relatif penunjuk-penunjuk etnik baru sebagai bagian dari
kelompok-kelompok pribumi yang berbeda yang belakangan bertemu dan
bersaing satu sama lain)
Belakangan, sarjana-sarjana Indonesia (Indonesianists) dan antropolog terus memakai istilah Batak dengan alasan “useful” (berguna) dan “necessary”
(perlu). Pada akhirnya, sarjana-sarjana yang kononnya, menyelidik
secara netral dan objektif, sebetulnya bertanggungjawab mencipta
identitas Batak dan memperkuat identitas Batak. Malah ciptaan mereka
itu, mencorak dan mewarnai garis-garis besar ilmu mereka sendiri. Maka
pemisahan Batak-Melayu itu berkepanjangan hingga hari ini.
Bangsa Mandailing dimelayukan Inggris
Kalau penjajah Belanda melabelkan orang Mandailing sebagai Batak, penjajah Inggeris melabelkan orang Mandailing sebagai “foreign Malays” (Melayu dagang). Di satu pihak, orang Mandailing disebut Batak Mandailng, dan di pihak yang lain, disebut Melayu Mandailing.
Penjajah Inggeris memakai stilah “foreign Malays” untuk merujuk kepada orang Mandailing dengan alasan kemudahan administratif (administrative convinience).
Pada mulanya, kategori Mandailing dan Batak terpisah dalam
sensus-sensus British Malaya, kemudian kedua kategori tersebut
dihapuskan menyebabkan orang Batak maupun orang Mandailing memilih masuk
Melayu’ atau menjadi Melayu dalam pengambilan sensus.
Meskipun
berabad-abad orang-orang Batak sudah ‘masuk Melayu’, pemisahan
Batak-Melayu terus kekal. Proses memelayukan orang-orang Batak termasuk
bangsa/umat Mandailing yang dikategorikan sebagai sub-Batak itu,
berkelanjutan hingga kini. Apakah muslihat dan strategi penjajah dan
sarjana-sarjana Barat mau menghapuskan kemajemukan kebangsaan
bangsa-bangsa lain di Sumatra Utara supaya bertuankan Batak? Apakah
muslihat dan strategi penjajah dan sarjana-sarjana Barat mau
menghapuskan kemajemukan kebangsaan bangsa-bangsa Nusantara yang
kedapatan di Semenanjung supaya bertuankan Melayu ?
Bermula dengan rekayasa sosial engineering
kolonial Belanda dan British, disusuli proses Malayanisasi (kemudian
Malaysianisasi) dan Indonesianisasi yang berlaku sejak dari abad ke 19
sampai sekarang menerusi pendidikan nasional, polisi kebudayaan nasional
dan nasionalisme Melayu dan Indonesia. Ciri-ciri khusus kebangsaan
bangsa/umat Mandailing seperti bahasa dan aksara, digugat dan kemudian
terhapus sama sekali atas nama asabiah (fanatik perkauman) pembangunan
nasional, identitas nasional dan kesatuan nasional.
Rumusan
Pada tahun 1920an, alim ulamak dan pemuka-pemuka Mandailing telah memprotes percobaan orang-orang Batak-Islam termasuk orang Mandailing yang mengaku Batak, untuk dikuburkan di tanah perkuburan Sungai Mati. Alim ulama dan tokoh-tokoh Mandailing berhujah bahwa wakaf tanah perkuburan Sungai Mati hanyalah untuk jenazah-jenazah orang-orang Mandailing saja. Orang-orang Batak khusus Angkola termasuk Mandailing yang mengaku Batak, tidak pantas dikuburkan di pekuburan itu.
Pada tahun 1920an, alim ulamak dan pemuka-pemuka Mandailing telah memprotes percobaan orang-orang Batak-Islam termasuk orang Mandailing yang mengaku Batak, untuk dikuburkan di tanah perkuburan Sungai Mati. Alim ulama dan tokoh-tokoh Mandailing berhujah bahwa wakaf tanah perkuburan Sungai Mati hanyalah untuk jenazah-jenazah orang-orang Mandailing saja. Orang-orang Batak khusus Angkola termasuk Mandailing yang mengaku Batak, tidak pantas dikuburkan di pekuburan itu.
Pejuang-pejuang
kebangsaan bangsa Mandailing membawa kasus/kes ke mahkamah syariah
Sultan Deli dengan keterangan bahwa tanah perkuburan bangsa Mandailing
di Sungai Mati, Medan, adalah semata-mata untuk bangsa Mandailing. Mereka
yang berbangsa selain Mandailing, tidak boleh dikuburkan di situ.
Mahkamah syariah Sultan Deli mendeklarsi bahwa bangsa Mandailing
terpisah dan berdiri sendiri dari bangsa Batak. Kemudian
bangsa Batak membawa kasus tersebut di mahkamah sibil di Batavia, Jawa.
Mahkamah tersebut, mahkamah tertinggi di Hindia Belanda mendeklarasikan
bahwa bangsa Mandailing bukan Batak.
Kasus jati diri tersebut dibukukan oleh Mangaradja Ihoetan dalam buku Asal-Oesoelnja Bangsa Mandailing
(Pewarta Deli, Medan, 1926). Dalam pengantarnya kepada buku itu,
Mangaradja Ihoetan menjelaskan maksud buku itu disusun “…hanjalah kadar
djadi peringatan di-belakang hari kepada toeroen-toeroenan bangsa
Mandailing itoe, soepaja mereka tahoe bagaimana djerih pajah bapa-bapa
serta nenek mojangnya mempertahankan atas berdirinja kebangsaan
Mandailing itoe. Dengan djalan begitoe diharap tiadalah kiranja mereka
itoe akan sia-siakan lagi kebangsaanja dengan moedah maoe mehapoeskannja
dengan djalan memasoekkan diri pada bangsa lain jang tidak melebihkan
martabatnya”.
Catatan Raja Huta :
Artikel ini aku
kutip sebagian dari tulisan berjudul “Bangsa Mandailing Bukan Batak dan
Tidak Melayu”. Aku temukan di blog bumibebas.blogspot.com. Di blog itu
banyak ditemukan artikel mengenai sejarah dan kehidupan orang-orang
Mandailing yang tinggal di Malaysia.
link artikel :
catatan ; Mohon izin pada pihak terkait. aku tampilkan artikel ini sebagai bahan penelitian