Selasa, 11 Maret 2014

Tambo Radja-Radja Mandailing
Oleh Dja Endar Moeda

Adapoen jang dinamai Mandailing itoe, adalah terbahagi atas doea bahagian: pertama Groot Mandailing dan Patang Natal: kedoea Klein Mandailing Oeloe dan Pakantan. Djoega radja radja pada kedoea loehak itoe berbahagi atas doea soekoe; jaitoe, radja radja Mandailing Besar bersoekoe “Nasoetion”, (nasaktion): ertinja soekoe kiramat, di Mandailing ketjil ialah soekoe (Loebis), maka nama soekoe loebis itoe, jang diambilnja dari pada nama sesaorang orang Poelau Soeloe namanja Si Angin Boegis, klak akan datang bitjaranja.
Sekarang soedah 17 soendoet orang, telah laloe, adalah kedapatan diloehak Mandailing ini, doea radja yang termasjhoer; pertama Soetan Perampoen di Padang Garoegoer; kedoea Soetan Poeloengan di Oeta Bargot.
Alkesah terseboetlah soeatoe riwajat, pada soetoe hari, pergilah Soetan Poeloengan radja Oeta Bargot jang terseboet berboeroe roesa, dengan beberapa pengiringnja. Takdir Allah menjalaklah andjingnja, jang bernama Sampaga-Toea, maka bereboetlah segala pengiringnja mengedjar perboeroean itoe, tiba tiba dilihat merikaitoe kiranja saorang anak laki-laki jang disalak andjing itoe, terletak diatas batoe, jang diboengkoes dengan kain soetera pelangi, dibawah sepoehoen kajoe beringin.
Maka anak itoepoen diambil oranglah dan dibawak kepada Soetan Poeloengan, selaloe dibawak poelang ke kampoeng dan diberikan kepada saorang boedak perampoean namanja Saoewa, maka dipiaranjalah anak itoe dengan sepertinja.
Kata setengah riwajat, sebab si Saoewa tiada mempoenjai ajer soesoe, maka di soesoekannjalah anak itoe kepada saekor ……. jang sedang menjoesoekan anaknja, tempat itoe di namai (baoeroar), sebab itoelah anak itoe dinamai Nabaoeroar, tetapi setengah riwajat Nabaoeroar itoe diambil dari pada nama saorang laki laki jang didjadikan pengasoehnja anak itoe, maka Nabaoeroarpoen semakin hari semakin besar.
Kata sehiboelhikajat, Soetan Poeloengan ada mempoenjai saorang anak laki laki jang sama besar dan seroepa dengan Nabaoeroar, baq pinang dibelah doea, sebab itoelah atjap kali orang kampoeng dan hamba hambanja, sesat memberi hormat dan memberi makan, oleh kerena itoelah mendatangkan tjimboeroe kepada Soetan Poeloengan dan isterinja.
Hatta pada soeatoe hari, waktoe Soetan Poeloengan hendak menegakkan astana, maka diparentahkanja, soepaja Nabaoeroar dijadikan alas tiang di bosoer (tiang toea) astana itoe, dan diberi bertanda dengan tjoreng sadah dikenang Nabaoeroar. Takdir Allah anak Soetan Poeloengan menjoreng keningnja poela dengan sadah, seperti tjoreng kening Nabaoeroar.
Setelah Si Saoewa mendengar chabar behasa Nabaoeroar akan didjadikan alas tiang toea astana, maka dengan segira dibawaknja lari anak itoe dan bersemboeni pada seboeah dangau sawah jang tinggal, jang soedah dipaloet oleh akar-akar.
Djadi ditangkap oranglan anak Soetan Poeloengan sselaloe dialaskannjalah ke tapakan tiang astanah roemah gedang, hingga mati.
Waktoe hendak makan, riboetlah orang mentjahari anak Soetan Poeloengan itoe, maka tetekala ketahoean bahoea jang dialaskan itoe anak Soetan Poeloengan, maka orang tjarilah Nabaoeroar, tetekala merikaitoe sampai hampir dengau tadi, maka barboenilah boeroeng ketitiran diboeboengan dengan dangau itoe, djadi pada persangkaan orang itoe, tentoe tiada orang disitoe, bila beorang, njatalah ketitiran itoe, tiada berani hinggap di sitoe, maka kembalilah merikaitoe, sebab itoelah segala ketoeroenan Nabaoeroar marsabang (berpantang) makan boeroeng ketitiran, sampai kepada masa ini.
Sjahdan nabaoeroarpoen dibawak lari oleh si Saoewah ke seberang Aek Gadang (Batang Gadis) sehingga damai poroemahan itoe “parbagasan babiat soboeon”, itoelah tempat peroemahan astana Panjaboengan Tonga jang sekarang.
Tjerita ini dipendekkan sahadja, kerena banjak dalamnja tjerita jang tiada kena oleh akal, apa lagi penoelis bermaksoed sekedar bergoena boeat taal-land-en volkenkunde sadja.
Di sitoelah Nabaoeroar di gelar Soetan di Aroe, dan meradjai doea kampoeng jang dinamai anak ni Dolok anak ni Lombang.
Tempat itoelah pertengahan pada segenapo kampoeng jang berkoeliling disana, maka orang perboeatlah tempat itoe, tempat perdjoedian saboeng ajam, sebab itoelah tempat itoe orang namakan Panjaboengan sampai kepada masa sekarang. Lama kelamaan tempat itoe, mendjadi ramai, dan lagi Soetan di Aroe, sangat ditjinta oleh anak boeah, kerena boedinja sangat baik, dan amat ditakoeti orang, sebab persangkaan orang Soetan di Aroe anak dewa.
Soenggoehpoen Soetan Poeloengan soedah tahoe,bahasa Nabaoeroar ada di Panjaboengan, tetapi ia tiada berani lagi, hanja berdendam sahadja didalam hatinja.
Apakah sebab Nabaoeroar seroepa dengan anak Soetan Poeloengan itoe?
Soenggoehpoen penoelis memaaloemi hal itoe, akan tetapoi beratlah rasanja akan menerangkan itoe, melainkan terseboet didalam tambo, Nabaoeroar anak dari Iskander Sjah. Itoelah laksana hikajat Toeankoe, Pagar Roejoeng, jang asalnja dari boeah kerambil nioer gading jang di pandjat oleh Salamat Pandjang Gombak; dimanakah nioer gading itoe sekarang?
Maka oleh kerena saktinjalah Nabaoeroar itoe, diseboet orang soekoe Nasoetion.
Adapoen Soetan di Aroe itoe, mempoenjai saorang anak jang amat berbahagia ialah Baginda Mengaradja Enda, Baginda inilah jang mengembangkan dan memasjhoerkan keradjaan Panjaboengan.
Masa Baginda inilah Soetan Perampoean Padang Garoegoer dialahkan perang. Adapoen perang ini asalnja, dari saorang boedak Baginda bernama ompoe ni Mangaroeng terboenoeh di Loemban Koeajan (Soeroematinggi Ankola Djae) oleh Radja Bengkas, soedara dari Soetan Perampoean.
Dalam perang ini, adalah 4 radja radja serikat melawan Baginda; jaitoe, Padang Garoegoer, Soetan Mendeda, Oeta Bargot, Radja Goemanti Porang, Pidoli Dolok, Radja Sordang Nagori, Pidoli Lombang, lagi dibantoe saorang panglima jang amat bernai, Baroeang sodang-dangon, namanja, orang dari Moera Tais Ankola Djae.
Pada peperangan ini, menanglah Baginda Mengaradja Enda, oleh kerena Baroeang Sodangdangon, panglima jang terseboet di atas berchianat, dan djoega oleh kerena kegagahan saorang poetera Baginda jang bernama Soetan Koemala Sang Jang di Partoean Radja Oeta Siantar.
Adapoen Soetan Koemala Sang Jang di Pertoean orang seboet anak dewa djoea, kerena boroe loebis Roboeran Dolok isteri jang pertama dari Baginda Mangaradja Enda, soedah toea, tetapi beloem berpoetera. Dengan takdir Allah hamilah permisoeri itoe dengan tiada di samai oleh Baginda, hal ini mendatangkan tjimboeroean baginja.
Pada soeatoe malam diintai oleh Baginda pada astanah permaisoeri itoe, maka terlihatlah oleh Baginda datang soeatoe tjahaja merahapi kepada permaisoeri itoelah jang djadi bapak oleh Sang Jang di Pertoean.
Alkesah waktoe poetoes waris radja di Loemban Sibagoeri, didjepoet oranglah Sang Jang di Pertoean mendjadi radja di Loemban Sibagoeri, maka diantarlah ia kesana dengan segala adat kebesaran, sebab itoelah Loemban Sibagoeri ditoekar nama dengan Oeta Siantar, sebab radjanja, jang diantar kesana. Masa itoelah Mandailing besar terbahagi atas doea bahagian 1e; Mandailing Djoeloe, 2e Mandailing Djae; segala jang taaloek kepada Sang Jang di Pertoean dinamai Mandailing Djoeloe dan segala jang taaloek kepada Baginda Maharadja Enda dinamai Mandailing Djae, dan diwataskan di Batoe Gondit dan Ajoeara sidjoembe Porang.
Waktoe perang Padang Garoegoer soedah selesai, maka tjerai berailah segala radja jang 4 serikat itoe. Soetan Perampoean dan anak soedaranja Radja Iro Rongit Sigongonan lari ke Aiti (Tamoese). Fihak Maharadja Tinaja tinggal di Mompang, itoelah ketoeroenannja Kepala Koeria Aek na Ngali jang sekarang. Radja Goemanti Porang dan Sordang Nagori lari ke Rao, ketoeroenan itoelah Toeankoe Laras Sontang dan Tjoebadak, dan Soetan Mandeda tinggal di Oeta Bargot djoega, sekarang soedah djadi djadjahan Penjaboengan.
Adapoen kepada koeria Pidolo, Goenoeng Toea, Baringin, Maga, Moeara Sama dan Moeara Perlampoengan ialah ke toeroenan Soetan Koemala Sang Jang di Pertoean Oeta Siantar.
Adapoen sekalian radja radja (kepala boemi poetera) di keresidinan Tapanoeli jang teroetama sekali, banjak berboeat bakti kepada daulat Gouvernement, ialah radja radja Mandailing, sebab menoeloeng Gouvernement waktoe perang paderi, dan beberapa jang ternama di dalam perang Bondjol dan Rao, seperti regent Radja Gadoembang, jang di Pertoean kota Siantar, Gegar Tengah Hari Limo Manis, d. l. l., apa lagi sampai sekarang amat bersetia dan berchadamat kepada Gouvernement.
Sedjak keradjaan Baginda Mangradja Enda dan Sang Jang di Pertoean, sampai sekarang, termasjhoerlah tanah Mandailing sampai kemana mana, hingga orang Batak, jang pergi merantau kemana mana menjeboetkan jang ia orang Mandailing djoea, sebab pada negeri lain lain, orang beloem kenal.
Kata sahib berita, pada masa keradjaan Madjopahit ditanah Djawa, adalah saorang Nachoda, orang dari Poelau Soeloe bernama si Angin Boegis berlajar ke Tanah Djawa, maka menjaboenglah nachoda itoe disana. Dalam perdjoedian menjaboeng ajam ini, ia selaloe kalah, hingga habis hartanja, tetapi pada soeatoe hari dapat oleh si Angin Boegis toeah ajam poesakanja, jang dinamakan “Idjo bingkoeang poetih boetan toekang Madjopahit”. Adapoen sebab dinamainja toeah ajam itoe boeatan toekang Madjopahit, sebab pada koetika ajam itoe diboeboeh orang, kedapatanlah padanja didjaitkan orang Madjopahit, bidji sawi hitam. Maka ajam si Angin Boegis inipoen menang hingga kembali segala kekalahannja, sampai sekarang toeah ajam jang terseboeat, menjadi poesaka bagi ketoeroenannja ditanah Mandailing.
Maka si Angin Boegispoen kawinlah ditanah Djawa beroleh anak laki laki, Raden Patah namanja. Raden Patah inilah pergi berlajar ke Sumatra pesisir Barat dan mengadoe kerbau dengan radja Pagar Roejoeng, itoelah atsal nama Menang Kerbau.
Sesoedah Raden Patah kalah dari pada mengadoe kerbau itoe, maka berlajarlah ia meneodjoe sebelah oetara dan meninggalkan saorang anaknja di Moeara Sjngkoeang bernama Namora Pandai Besi. Namora Pandai Bosipoen moediklah ke hoeloe sampai ke Siondop jang sekarang, akan tetapi ia tiada tinggal disana, sebab disitoe soedah ada radja ketoeroenan Toean Tongga Magek Djabang dari Pariaman., Ranggar Laoet namanya, itoelah ketoeroenan Siondop dan Soeroematinggi Ankola.
Namora Pandai Bosi, singgah di Partihaman dekat Losoeng Batoe sekarang, dan ia mendjadi saorang doekoen jang sangat dihormati orang.
Sjahdan pada soeatoe hari, adalah radja dari Pidjorkoling, mendapat penjakit keras sekali, maka dipanggillah Namora Pandai Bosi akan mengoebati radja itoe, setelah dioebatinja radja itoepoen semboehlah dari penjakitnja. Namora Pandai Bosi memintak djadi selimoet jang lebar, jaitoe sapotong tanah, itoelah Loboe Sitardas jang dekat Tolang sekarang. Maka Namora Pandai Bosi mendirikan kampoenglah disana dan mendjadi radja disitoe, lagi ia sangat pandai didalam pekerdjaan toekang besi, sampai sekarang masih banjak keris boetannja jang djadi poesaka bagi ketoeroenannja dan kepada orang lain djoega.
Kata Sahiboelhikajat, maka pada soeatoe hari, Namora Pandai Bosi pergi menjoempit boeroeng ke Ajoeara na bobar namanja, [sepoehoen kajoe baringin]. Maka Namora Pandai Bosi, menjoempitlah dari satoe tempat jang soedah diperboeatnja diatas dahan kajoe baringin itoe, maka banjaklah jang soedah djatoeh boeroeng jang di soempitnja itoe, laloe toeroenlah ia, tetapi saekorpoen tiada diperolehnja, djadi hairanlah ia memikiri hal itoe maka bersemboenilah ia laloe menjoempit poela, tetekala boeroeng itoe djatoeh, nampaklah padanja datang saorang perampoen mengambil boeroeng jang djatoeh kena soempit itoe. Setelah Namora Pandai Bosi, melihat perampoean itoe, maka toeroeanlah ia, laloe ditangkapnja perampoean itoe, hingga regang meregang, achirnja perempoean itoe membawa dia keroemah bapanja, dan iapoen kawinlah dengan perempoean itoe.
Kata setengah riwajat perampoean itoe anak Loeboe, kerena sekarang pada goenoeng barisan jang bersamboeng dengan goenoeng disitoe, terdapat beberapa Loeboe. Tetapi pada pendapat penoelis ini, boleh djadi dari anak oarng boenian, kerena sekarang adalah terdapat, jang diseboet orang kampoeng, orang siboeniandi Naboendong djalan ke Padang Lawas, bertentangan dengan kajoe baringin jang terseboet diatas. Sesoedahnja hamil perampoean itoe, Namora Pandai Bosipoen kembalilah ke kampoengnja.
Setelah genap boelannja, dilahirlah anak Namora Pandai Bosi, kembar, jaitoe doea orang laki laki jang dinamai oleh maknya Si Baitang dan Si Langkitang.
Sesoedah Si Baitang dan Si Langkitan beroemoer 16 tahoen maknjapoen menjoeroeh merikaitoe mentjahari bapanja; maka pergilah merikaitoe mentjahari bapanja, Namora Pandai Bosi. Lama kelamaan sampailah merikaitoe di Loboe Sitardas, dimana kampoeng bapanja.
Maka maaloemlah bagaimana besar hati Namora Pandai Bosi waktoe ia tahoe, bahoea kedoea anak itoe anaknja.
Adapoen Si Baitang dan Si Langkitang, tinggallah dengan bapanja, bekerja toekang besi. Oleh ketjakapan dan kepandaian kedoea anak itoe, maka tjimboeroeanlah isteri Namora Pandai Bosi jang toea, kerena pada sangkanja, tentoe anaknja nanti terbelakang dan Si Baitang serta Si Langkitang termoeka. Oleh sebab itoe, setiap hari ditjatjinja kedoea anak itoe dan dikatanja anak bintjatjak, anak bintjatjau, anak singiang ngiang rimbo, anak dapeq ditepi bandar.
Oleh kerena maki dan nista itoe, moefakatlah kedoea anak itoe akan pergi dari sana laloe pergilah merekaitoe minta idzin dari bapanja, dan bapanjapoen memberi idzin, dan memberikan tandoek kerbau moering dan saboeah soempitan; maka kedoea barang itoe, kiranja telah diisi oleh Namora Pandai Bosi dengan emas, soepanja bininja djangan tahoe ia memberikan emas itoe. Maka pergilah merikaitoe dan tinggal berladang diloear kampoeng, tiada begitoe djaoeh dari kampoeng itoe.
Waktoe Namora Pandai Bosi meninggal doenia datanglah Si Baitang dan Si Langkitang membawa saekor kerbau akan toeroet berkaboeng, dalam hal itoe, isteri Namora Pandai Bosi dan anak anaknja tiada memberi idzin merikaitoe masoek dikampoeng Sitardas, maka dipotongnja kerbau jang dibawa merikaitoe diloear kampoeng itoe, diikatnja dimana sapoehoen kajoe bangsa patai, jang poetjoeknja dihantakkan ketanah, sampai kini dahan kajoe itoe semoeanja mengadap kebawah, jang orang namai poehoen itoe “rampa simanoenggaling”.
Setelah selesai dari pada jang demikian itoe, maka pergilah merikaitoe mentjahari tempat, dimana ada bersoea moeara batang ajer jang bertentangan, kerena sepandjang oesiat bapanja Namora Pandai Bosi.
Maka bersoealah merikaitoe dengan moeara batang ajer bertentangan di Kota Nopan, maka tinggallah merikaitoe disitoe mendirikan kampoeng, itoelah kampung jang dinamai Si Ngengoe.
Si Baitang tinggal di Si Ngengoe, itoelah ketoeroenan Kepada koeria Si Ngengoe, Tambangan dan Soeroematinggi, dan Si Langkitang pergi arah kemoedik, itoelah ketoeroenan kepala koeria Tamiang, Manambin, Pakantan Lambah dan Pakantan Boekit; demikianlah tambo kedoea ketoeroenan ini ditoelios dengan ringkas sahadja menoeroet karangan Radja Moelia.
Riwajat Poelau Sumatra
N. Venn Snelspersdrukkerij Insulinde
Padang 1903
0 Comments|288 Views|View full article
Family stories:Jejak raja batak dalam Legenda
Posted by: Deleted member on July 26 2008 03:10
KEBERADAAN etnis-etnis di Indonesia tidak terlepas dari lagenda yang selalu dituturkan dari mulut ke mulut serta menjadi cerita rakyat. Seperti hikayat Putri Hijau dari Tanah Deli atau Jaka Tingkir dari Jawa, etnis Batak (Toba) juga mempunyai hikayat yang hingga kini tetap hidup di tengah masyarakatnya.
Konon, perjalanan etnis Batak dimulai dari seorang raja yang mempunyai dua orang putra. Putra sulung diberi nama Lontungon dan kedua diberi nama Isumbaon. Setelah keduanya dewasa, mereka menghadap sang ayah yang juga raja di daerah itu. Kedua anaknya meminta ilmu sakti. Sang ayah menyanggupi, namun dengan syarat keduanya harus membangun tempat persembahan di atas bukit yang bernama Pusuk Buhit. Setelah itu, selama tujuh hari tujuh malam kedua anaknya tidak bisa ke tempat itu sebelum waktu yang ditentukan tiba. Setelah tujuh hari tujuh malam terlewati, sang Raja beserta kedua anaknya pergi ke Pusuk Buhit. Di sana, mereka menemukan dua buku yang disebut sebagai buku Laklak bertuliskan surat batak.
Sang Raja menyuruh si sulung mengambil buku itu, dan meminta apa yang mau dimintanya kepada sang pencipta. Saat itu, si sulung meminta kekuatan, kebesaran, rezeki, keturunan juga kepintaran, kerajaan, kesaktian dan tempat berkarya untuk semua orang. Permintaan si bungsu pun sama. Sang Raja mengubah nama si sulung menjadi Guru Tatea Bulan. Konon, Guru Tatea Bulan dengan lima putranya yakni Raja Geleng Gumeleng si sulung, Seribu Raja, Limbong Mulana, Segala Raja, si Lau Raja dan empat putrinya yakni si Boru Pareme kawin ke Seribu Raja (Ibotona) abang kandungnya. Bunga Haumasan kawin dengan Sumba. Atti Hasumasan kawin ke Saragi, dan Nan Tinjo konon jadi Palaua Malau.
Suatu hari, Seribu Raja menghadap ayahnya untuk memberitahukan mimpinya. Dalam mimpi itu ia mengatakan agar ayahnya mengantarkannya ke Pusuk Buhit. Di sana dia tampak menjadi seorang yang sakti dan kelak abang dan adik-adiknya tunduk dan menyembahnya. Ayahnya tertegun dan bertanya lagi. Tapi yang menjawab adalah Geleng Gumeleng, padahal yang bermimpi adalah Seribu Raja.Saat itu juga Geleng Gumeleng berkeinginan untuk bisa ke Pusuk Buhit.Ayahnya mendukung Geleng Gumeleng pergi ke Pusuk Buhit, tapi Seribu Raja tak mau mengalah. Sehingga terjadi pertengkaran dan Seribu Raja pergi meninggalkan ayahnya.
Di Pusuk Buhit, Sang ayah menempa Raja Geleng Gumeleng menjadi raja sakti yang namanya diubah Raja Uti. Sementara Seribu Raja yang melarikan diri ke hutan tidak mau lagi menemui ayahnya Guru Tatea Bulan. Raja Lontung Dalam penelusuran penulis di Samosir diceritakan pada suatu hari ketika Seribu Raja sedang beristirahat dalam pengembaraannya, lewatlah seorang gadis cantik yang sangat jelita bak bidadari dari kayangan dan menarik perhatian Seribu Raja. Karena tertariknya, Seribu Raja pun membuat pelet (mistik penangkap wanita) supaya wanita itu lengket. Pelet itu diletakkan di atas tanah yang akan dilewati gadis cantik jelita itu.
Tapi apa yang direncanakan Seribu Raja bukanlah menjadi kenyataan karena takdir berkata lain dan justru yang lewat dari tempat tersebut adalah adik perempuannya sendiri bernama Siboru Pareme yang datang mengantar makanan untuk Seribu Raja. Boru Pareme yang tadinya biasa-biasa saja, menjadi jatuh cinta kepada abangnya padahal dalam adat Batak hal itu sangat tabu. Tetapi karena pelet Seribu Raja, semua berubah hingga akhirnya mereka menjadi suami istri.
Ketika Guru Tatea Bulan mendengar kedua anaknya telah menikah, dia murka dan mengusir Seribu Raja. Sebelum pergi, Seribu Raja memberikan sebuah cincin kepada adik yang juga istrinya dan berpesan bila anaknya lahir diberi nama Si Raja Lontung.
Raja Borbor
Dalam pengembaraannya, Seribu Raja bertemu dengan seorang raja yang bergelar Raja Ni Homang. Tetapi dalam pertemuan itu terjadi pertarungan antara Seribu Raja dengan Raja Ni Homang. Kalau Seribu Raja kalah akan menjadi anak tangga ke rumah Raja Ni Homang dan bila Raja Ni Homang kalah, maka anak gadisnya akan diperistri oleh Seribu Raja.Pertarungan itu dimenangkan Seribu Raja. Tetapi sebelum dipersunting oleh Seribu Raja, sang putri raja itu ingin membuktikan kehebatan Seribu Raja. Maka gadis itu menyuruh Seribu Raja untuk mengambil daun pohon hatindi yang tumbuh di atas embun pati dengan syarat Seribu Raja harus tetap ada ditempatnya berdiri. Dan, bila sudah dapat dia bersedia menjadi istrinya.
Seribu Raja menyanggupi permintaan Boru Mangiring Laut. Dengan tiba-tiba tangan Seribu Raja dikibarkan ke atas kepalanya mengakibatkan angin di tempat itu menjadi kencang dan daun hartindi itu terbang ke tangannya. Bunga itu pun diberikannya kepada Boru Mangiring Laut. Setelah menikah, nama Boru Mangiring Laut diganti menjadi Huta Lollung, artinya kalah bertanding. Tak lama kemudian, boru Mangiring hamil namun Seribu Raja tidak menunggu kelahiran anaknya. Dia akan melanjutkan pengembaraannya.Dan, sebelum pergi dia memberikan sebuah cincin sakti. Pesan terakhir Seribu Raja, bila anaknya lahir diberi nama Raja Borbor.
Pertemuan Raja Lontung-Raja Borbor Konon, setelah dewasa Raja Lontung berangkat menelusuri hutan untuk mencari ayahnya Seribu Raja. Suatu hari Raja Lontung merasa sangat haus.Dia pun beristirahat barang sejenak. Di bawah pohon rindang, Raja Lontung mengambil pedangnya dan memotong salah satu akar pohon rotan untuk mengambil airnya. Tetapi bila dia mengangkat akar rotan itu ke mulutnya, tiba-tiba lepas karena ada yang menariknya dari sebelah. Begitulah yang terjadi sampai tiga kali.
Raja Lontung marah. Pasti ada orang yang mempermainkannya. Sekali lagi Raja Lontung menarik rotan itu kuat-kuat sehingga terjadi tarik menarik. Karena rasa kesal yang teramat sangat Raja Lontung berseru : “Jangan ganggu saya”.
Namun, akhirnya terjadi perkelahian dengan orang yang belum dikenal oleh Raja Lontung. Masing-masing mereka mengeluarkan ilmu sakti namun tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang. Akhirnya keduanya berkenalan. Lawan si Raja Lontung adalah Raja Borbor.Saaty itu mereka saling bertanya siapa ayah mereka sebenarnya. Keduanya terkejut sebab ayah mereka adalah Seribu Raja. Akhirnya mereka mencari Seribu Raja.
(Bersambung)
Penulis : Abu Hasan Nasti
0 Comments|1404 Views|View full article
Local news:Pengertian kawin Lari Pada Masyarakat Batak Angkola
Posted by: Deleted member on July 26 2008 03:00
Masyarakat Angkola bermukim di daerah Tapanuli Selatan yaitu di Sipirok, Padangsidempuan, Batangtoru, dan sekitarnya. Masyarakat Angkola dahulunya berasal dari Kerajaan Batak, diperkirakan berdiri pada 1305 di Kampung Sianjur Mula-mula, Pusuk Buhit, Danau Toba. Sejak saat itu, penduduknya mempunyai sistem kekerabatan yang disebut dengan Dalihan na Tolu (dalihan ‘tungku’, na ‘yang’,tolu ‘tiga’) yang berarti ‘tungku yang tiga’.
Sistem kekerabatan ini mempunyai tiga unsur dasar yang pada masyarakat Angkola terdiri atas: 1) kahanggi yaitu keluarga laki-laki dari garis keturunan orang tua laki-laki, 2) anak boru yaitu keluarga laki-laki dari suami adik/kakak perempuan yang sudah kawin, dan 3) mora yaitu keluarga laki-laki dari saudara isteri. Ketiga unsur ini memegang peranan penting dalam lingkungan kekelurgaan masyarakat Angkola. Tutur sapa menjadi lancar kalau ketiga unsur ini jelas keberadaannya. Ketiga unsur ini saling memerlukan dan berfungsi sesuai dengan kedudukannya.
Rumpun Batak ini terdiri atas Toba, Angkola, Mandailing, Karo, Simalungun, dan PakpakDairi.
Pada masyarakat Angkola, jaringan kekerabatan itu muncul karena adanya perkawinan, termasuk perkawinan marlojong ‘kawin lari’. Bentuk perkawinan yang seperti ini sering ditemukan di kampung (bona bulu) dan di perkotaan yang merupakan tempat tinggal di perantauan. Pada garis besarnya, perkawinan menurut masyarakat Angkola dapat dilakukan dengan dua cara yaitu:
1) sepengetahuan keluarga yang disebut dengan istilah dipabuat
2) perkawinan tanpa persetujuan orang tua yang disebut dengan marlojong. Masing-masing kedua cara ini ada aturan, tata cara, dan tata tertibnya yang harus selalu dipa-tuhi oleh setiap orang Angkola. Kedua bentuk perkawinan itu tergambar lewat pantun Ang-kola berikut ini, /Aha na tubu di lambung ni suhat/Ulang baen margonjong-gonjong/Adong na marbagas dipabuat/Dung i muse adong na marlojong/ yang artinya adalah, /Apa yang tumbuh dekat keladi/Jangan dibuat berderet lagi/Ada yang kawin dilamar pasti/Namu ada yang kawin lari/.
Perbuatan marlojong ‘kawin lari’ pada masyarakat Angkola merupakan satu kebiasaan apabila perkawinan yang umum tidak dapat dilakukan. Untuk itu, perlu diketahui dan dipahami dengan baik perkawinan menurut adat Dalihan na Tolu ini di daerah Angkola. Tulisan ini memberikan penjelasan untuk lebih mengenal perkawinan marlojong ‘kawin lari’, salah satu cara perkawinan pada masyarakat Angkola. Jadi, perkawinan marlojong ini merupakan jalan keluar yang akan ditempuh oleh sepasang muda-mudi Angkola apabila mereka memperoleh kesulitan dan kendala yang tidak dapat diselesaikan. Untuk itu, penyelesaian masalah dapat dilakukan melalui mufakat seperti kata pantun Angkola berikut ini, /Mago pahat mago uhuran/Di toru ni ragi-ragi/Mago adat tulus aturan/Anggo dung mardomu tahi/ yang artinya adalah, /Hilang pahat hilang ukuran/ Di bawah adanya urat/Hilang adat hilang aturan/Kalau sudah bertemu mufakat/. Maksudnya, musyawarah/mufakat itu dapat menyelesaikan semua permasalahan yang timbul.
Pengertian “Kawin Lari”
Istilah “kawin lari” dalam masyarakat Angkola disebut dengan marlojong. Berdasarkan etimologinya, kata marlojong berasal dari awalan mar yang berarti ‘ber’ lalu melekat pada kata lojong yang berarti ‘lari’. Jadi, kata marlojong berarti ‘berlari’. Kemudian kata marlojong berkembang artinya menjadi ‘kawin lari’. Menurut masyarakat Angkola, marlojong ‘kawin lari’ ini merupakan satu perkawinan yang dapat diterima dalam adat istiadat. Perkawinan marlojong ini dilaksanakan tanpa
sepengetahuan/persetujuan orang tua perempuan. Ada juga yang menyebut marlojong ini dengan dua istilah lain yaitu mambaen rohana dan marlojong takko-takko mata. Istilah mambaen rohana terdiri atas dua kata. Pertama, kata mambaen yang berasal dari kata baen yang berarti ‘buat’ dengan mendapat awalan mam yang berarti ‘ber’. Kedua, kata rohana pula yang berasal dari kata roha yang berarti ‘hati’ dan akhiran na yang berarti ‘–nya’. Jadi, ungkapan mambaen rohana berarti ‘berbuat hatinya’ yang mengandung pengertian ‘menurutkan kata hatinya’. Istilah marlojong takko-takko mata pula berasal dari kata marlojong ‘berlari’, takko-takko yang berarti ‘curi-curi’ dan mata yang juga berarti ‘mata’. Sehingga istilah marlojong takko-takko mata ini berarti ‘berlari curi-curi mata’. Kemudian dalam perkembangannya, arti istilah marlojong takko-takko mata ini berubah menjadi ‘mencuri, tetapi dilihat/diketahui’.
Maksudnya, marlojong ‘kawin lari’ seperti ini disetujui sebagian keluarga dan sebagian lagi kurang menyetujuinya. Perbuatan marlojong ‘kawin lari’ ini dilakukan oleh seorang pemuda, yang disebut dengan bayo, dengan membawa seorang anak gadis, yang disebut dengan boru, ke rumah orang tua/famili pihak laki-laki tanpa diketahui oleh orang tua perempuan. Secara umum, orang tua pihak perempuan kurang menyetujui perkawinan seperti ini karena adanya perbedaan status sosial. Namun marlojong ‘kawin lari’ ini dapat juga terjadi karena melangkahi kakak yang belum kawin yang bertentangan dengan adat istiadat. Dalam hal ini, pantun Angkola berkata, /Diboan dope eme sitarolo/Na dijomurkon di ari parudan/Adat ni ompunta na parjolo/I ma hita paobanoban/ yang artinya dalam bahasa Indonesia adalah, /Dibawa padi sitarolo pula/Yang dijemur di musim hujan/Adat moyang dahulu kala/Itulah yang jmenjadi pedoman/. Jadi, perkawinan sebaiknya berpedoman pada adat yang ada. Sedangkan, marlojong ‘kawin lari’ ini hanya dilakukan saat muda-mudi itu dalam keadaan terdesak dan “darurat” saja.
Seorang anak gadis yang sudah dewasa dalam masyarakat Angkola pantas untuk dikawinkan. Pantun yang menggambarkan hal itu tampak pada,/Talduskon ma giring-giring/Laho mamasukkon golang-golang/Tinggalkon ma inang adat na bujing/Madung jujung adat matobang/ yang artinya adalah, /Tanggalkan gelang tangan manis/Saat masuk gelang biasa/Tinggalkan kebiasan anak gadis/Sudah sampai ke masa dewasa/. Untuk itu, ada dua cara perkawinan (pabagas boru) menurut adat orang Angkola. Pertama, disebut dengan dipalakka sian tangga jolo yang artinya ‘diberangkatkan dari tangga depan’.
Maksudnya, perkawinan ini dilakukan dengan persetujuan orang tua kedua belah pihak. Perkawinan seperti ini disebut juga dengan dipabuat ‘diambilkan’. Kedua, disebut dengan marlojong ‘kawin lari’. Cara ini dilakukan dengan berangkat dari tangga belakang tempat tinggal anak gadis yang di masyarakat Angkola disebut dengan kehe sian tangga pudi yang berarti ‘pergi melalui tangga belakang’. Pengertian sepenuhnya ungkapan ini adalah ‘pergi kawin dengan kemauan sendiri tanpa izin orang tua’. Kalau seorang anak gadis marlojong dengan seorang pemuda, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu:
(1). Memberi tanda abit partading atau abit partinggal ‘kain pertinggal’. Peralatan yang dipakai adalah kain sarung bermotif kotak-kotak, berwarna hitam, dan di bawah tempat tidur. Tanda ini disebut juga dengan na balun di amak ‘yang bergulung di tikar’. .
(2). Membuat tanda patobang roha ‘menuakan hati’. Caranya, si anak gadis menulis surat kepada kedua orang tuanya yang menyatakan bahwa dia benar telah berangkat untuk berkeluarga dengan menyebutkan nama si laki-laki dan alamat yang ditujunya.
(3). Meninggalkan tanda pandok-dok ‘pemberitahuan’. Tanda ini berupa uang, kain sarung, dan surat.yang bersatu secara utuh serta diletakkan di kamar tidur si gadis. Kata dok berarti ‘kata’. Jadi, pandok-dok mempunyai arti ‘berkata-kata; pemberitahuan’.
Barang-barang tersebut di atas sebagai tanda untuk memberitahukan orang tua bahwa si gadis sudah pergi marlojong ‘kawin lari’. Orang tua si gadis dengan melihat tanda yang ada di kamar tidur, telah mengetahui bahwa anak gadisnya pergi mambaen rohana ‘menurutkan kata hatinya’. Lalu ketika mau marlojong itu, si anak gadis harus bersiap-siap membawa teman. Fungsi temannya ini adalah sebagai pengawal yang disebut dengan pandongani ‘penemani; orang yang menjadi teman si anak gadis ketika marlojong’.

Penutup

Perkawinan marlojong sebenarnya merupakan perkawinan yang kurang disukai orang-orang Angkola. Namun sebab keadaan yang memaksa dan tidak bisa terhindarkan,perkawinan marlojong ini pun banyak pula sekarang ini dipergunakan oleh muda-mudi di Angkola.
Jadi, marlojong ‘kawin lari’ ini sebenarnya merupakan jalan pintas terakhir yang dilakukan seorang pemuda Angkola karena adanya hambatan serta rintangan yang terjadi, terutama karena kekurangsetujuan dari pihak orang tua dan keluarga si anak gadis terhadap si pemuda tersebut.
Oleh Prof. H. Ahmad Samin Siregar
Penulis, Guru Besar Fak. Sastra USU
Sumber : Waspada Online

NAMORA PANDE BOSI ASAL-USUL MARGA LUBIS MANDAILING JULU


NAMORA PANDE BOSI ASAL-USUL MARGA LUBIS MANDAILING JULU



Makam Namora Pande Bosi Nenek Moyang Marga Lubis 
Photografer : Lili Mardiah Lubis, SH, SpN & Taufik Syahban Lubis,  Desember  2006.




















































Masyarakat Mandailing mempercayai bahwa Namora Pande Bosi adalah nenek moyang masyarakat Mandailing Julu yang bermarga Lubis.

   
 
Lukisan Tanduk Kerbau Namora Pande Bosi Oleh Mickey Lubis 

Tanduk diatas tersebut berasal dari tanduk kerbau (horbo muring) yang dipotong pada waktu upacara adat perkawinan (horja siriaon)  Namora Pande Bosi dengan Dayang Surto Alus Bonang Nabontar, putri dari Datuk Bondaro yang bermukim di Huta Nopan Padang Bolak dengan memotong kerbau yang besar tiada taranya (horbo muring). Dimana tanduk kerbau tersebut diukir sendiri oleh Namora Pande Bosi dan keris ditempanya sendiri. Ketika Namora Pande Bosi hendak kembali Hatongga berpesan kepada istrinya, apabila anak-anaknya tersebut kemudian hari ingin menemuinya, maka tanduk yang diukir serta segengam tanah tempat penanaman tali pusar mereka ditunjukkan sebagai tanda bukti atau pengenal.
Namora Pande Bosi seorang terkenal dengan keahlian pandai besi yang terkemuka dan mempunyai dua orang anak lelaki kembar yang bernama  Baitang dan Langkitang. Setelah anaknya Baitang dan Langkitang sudah dewasa,  mandiri dan mapan. Namora Pande Bosi sesuai adat kebiasaan leluhur dahulu kala, menyuruh Baitang dan Langkitang (keluarga beserta rombongannya) untuk membuka huta baru  ke suatu  tempat, di mana terdapat pertemuan (partomuan) dua sungai yang mengalir dari dua arah yang tepat bertentangan (dalam bahasa Mandailing dinamakan Muara Patontang) di situlah mereka membuka tempat pemukiman baru yang baik.
Setelah lama mengembara akhirnya  Baitang dan Langkitang ((keluarga beserta rombongannya) menemukan Muara Patontang Dan Muara Partomuan, lantas mereka membuka pemukiman baru di tempat itu di dua sungai yang bertentangan muaranya,  pada Aek Batang Gadis yaitu: Aek Singengu dan Aek Singangir yang mereka namai Huta Nopan untuk mengenang tempat asal ibunda mereka. (Baitang & Langkitang).
Baitang melanjutkan perjalanannya sampai ke Hulu sesuai dengan amanat Namora Pande Bosi Partemuan dua sungai yaitu: antara Aek Batang Gadis dengan Aek Batang Pungkut kemudian mendirikan pemukiman baru dinamai Muara Partomuan (Lubis Partomuan), dimana Baitang mendirikan Pemukiman pertama yang sekarang bernama Muara Pungkut. Baitang memiliki ketangguhan atau ketangkasan yang luar biasa, karena itu digelari orang “ Lubis Singasoro atau Singa Menerkam, (karena ada peristiwa dimana sekelompok orang-orang yang sedang mendulang emas mengeroyok Baitang untuk mencelakainya, namun Baitang dapat menaklukan semuanya dan menjadikan hambanya).
Keturunan  Lubis Singasoro mendiami kawasan mulai dari: Muara Partomuan sampai kerajaan Lubis Manambin, Ulu Pungkut sampai Huta Nagodang, Lumban Balian, atau Tamiang, Tor Panjomburan dan Tadangka Dolok, Tobang sampai Silugun, Pakantan Dolok dan Pakantan Lombang.
Perkampungan Lubis di Mandailing mempunyai ciri-ciri yang khas, yaitu selalu dibangun di dekat dengan gunung seperti:
·         Kerajaan Adat Tradisional Tamiang berada di kaki Gunung Tor Sijanggut dan dilembah sungai (aek) Batang Gadis.
·         Kerajaan Adat Tradisional Pakantan Dolok dan Pakantan Lombang dengan kampung-kampung menjadi wilayah terletak di kaki Gunung Kulabu dan dekat dengan aliran sungai Batang Gadis.
Tidak lama setelah ditinggalkan anaknya  Baitang dan Langkitang, Namora Pande Bosi meninggal dunia dan dimakamkan di Hatongga. Semua keturunan    Baitang dan Langkitang yang menyebar di seluruh tanah Mandailing Julu terutama dan di tempat-tempat lain dikenali sebagai orang-orang Mandailing yang bermarga Lubis.
Berdasarkan Penelitian literature peradapan agama Budha/Hindu zaman dahulu, menyebutkan antara lain:
  1.  Menurut kitab-kitab kuno agama Budha dan Hindu, sebuah candi didirikan di sekitar tempat bercengkeramanya para dewa. Puncak dan lereng bukit, daerah kegiatan gunung berapi, dataran tinggi, tepian sungai dan danau, dan pertemuan (tempuran) dua sungai dianggap menjadi lokasi yang baik untuk pendirian sebuah candi.
  2. Di Tapanuli Selatan dan Mandailing, khususnya di kawasan Padang Lawas yang merupakan lokasi puluhan monumen peninggalan masa klasik Indonesia, kata biaro lebih dikenal oleh masyarakat sebagai pengganti kata candi. Kata biaro sendiri berasal dari bahasa Sansekerta, Vihara yang aslinya berarti serambi tempat para pendeta berkumpul atau berjalan-jalan. Belakangan dalam bahasa Indonesia kata itu menjadi biara atau wihara yang artinya tempat para biksu atau pendeta (Koestoro dkk, 2001). Dalam tradisi pembangunan Hindu dikenal adanya beberapa ketentuan antara lain: dengan penempatan bangunan suci di dekat air (tirtha), baik air di sungai (terutama di sekitar pertemuan/tempuran dua aliran sungai), danau atau laut. Pada kondisi dimana tidak ada obyek geografis yang mengandung air, maka harus dibuatkan kolam di halaman bangunan suci itu. Dijelaskan pula bahwa tempat lain yang baik bagi pendirian bangunan suci adalah di puncak gunung, dilereng, gunung, dalam hutan, atau di lembah (Kramrisch,1946). Kita ketahui bahwa di Pulau Jawa kebanyakan candi didirikan di dekat aliran sungai. Bahwa Candi Borobudur menempati lahan di pertemuan Sungai Progo dengan Sungai Opak, dan juga  Biaro/Candi Sipamutung di Padang Lawas Kabupaten Tapanuli Selatan didirikan di pertemuan Sungai Barumun dengan Sungai Batang Pane.

  1. Menurut pendapat penyusun tentang pesan  Namora Pande Bosi kepada anaknya Baitang dan Langkitang untuk membuka kerajaan dan pemukiman baru diantara dua sungai yang mengalir dari dua arah yang tepat bertentangan (tempuran), ternyata yang memakai prinsip/konsepkebudayaan peradapan yang berasal dari agama Budha yang ada di Padang Lawas, yaitu: dimana Biaro/Candi Sipamutung di Padang Lawas Kabupaten Tapanuli Selatan didirikan di antara pertemuan Sungai Barumun dengan Sungai Batang Pane
  2. Jadi sejarah Lubis keturunan dari Namora Pande Bosi juga memakai peradapan agama Hindu dalam menamakan gelar raja seperti Alogo dengan gelar Radja Partomoean Dan nama raja seperti Partomuan Lubis gelar Patuan Dolok.
  3. Menurut kitab-kitab kuno agama Budha dan Hindu pertemuan antara dua sungai lambang kesuburan Pertanian. air juga menyimbolkan kesuburan, atau simbol kehidupan itu sendiri. Air itu mengalir terus seperti kehidupan yang terus berlanjut, dan kehidupan pun berjalan terus seperti aliran air. Tiada kehidupan di Bumi tanpa topangan air, karena itu air menjadi hal yang sangat penting dijaga kelangsungan, kelestarian, kesuburan dan kemurniannya.
Catatan tentang penggunaan sumber air kawasan Mandailing saat ini, antara lain :
Ada beberapa istilah yang diberikan pada sumber air di kawasan Mandailing, dimana sungai disebut batang; anak sungai disebut aek, atau ranting sungai disebut  rura dan mata air yang disebut mual. Nama-nama sungai atau muaranya bahkan banyak dijadikan sebagai acuan nama pemukiman orang-orang Mandailing. Pada masyarakat Mandailing, eksistensi air sungai maupun anak sungai yang ada di sekitar pemukiman mereka berperan multifungsi, sebagai air minum dan mandi cuci kakus, mengairi lahan pertanian, mendukung fungsi sosial budaya (misalnya dalam upacara adat patuaekkon boru), religius (mendukung pelaksanaan ibadah), dan juga ekonomi (mencari emas/manggore, ikan, bahan bangunan berupa pasir, kerikil dan juga batu). Dengan kata lain, bagi orang Mandailing air merupakan "mata air kehidupan" yang sekaligus bertali-temali dengan institusi sosial, budaya, ekonomi dan ekologis.
  1. Kehidupan pada zaman itu, masyarakat beragama Budha dan animisme (megalitik) hidup berdampingan dimana terjadi pertukaran budaya, adat istiadat, nilai-nilai leluhur dan pandangan hidup sebelum agama Islam masuk ke Tanah Mandailing dan Tapanuli Selatan.
Menurut Suryadinata berpendapat bahwa “ethnic” atau kelompok etnik berasal dari suatu nenek moyang yang sama (nyata atau dibayangkan) dan biasanya memiliki akar yang sama pula, walaupun tidak selamanya demikian. Terbentuknya suatu bangsa adalah sense of belonging terhadap suatu warisan sejarah yang sama dan keinginan untuk hidup bersama.
Di Mandailing semua Raja Panusunan berasal dari satu keturunan, yaitu:
·         Keturunan yang bermarga Lubis di Mandailing Julu satu keturunan Namora Pande Bosi.
·         Keturunan yang bermarga Nasution di Mandailing Godang satu keturunan Sutan Diaru.
Raja-Raja Panusunan bertemu dalam peradatan sebagai Raja-Raja ”Mardomu Daro

Mandailing Julu mempunyai enam (6) Raja Panusunan, yang terdiri dari :
  1. Lubis Si Baitang.
Menurunkan Lubis yang menjadi Raja Panusunan di kawasan:
·         Tamiang.
·         Manambin.
·         Pakantan.
  1. Lubis Si Langkitang.
Menurunkan Lubis yang menjadi Raja Panusunan di kawasan:
·         Singengu.
·         Sayur Maincat.
·         Tambangan.
Kawasan Mandailing Julu (Hulu) berarti Kawasan Mandailing yang berada di bahagian hulu sungai Batang Gadis yang melintasi wilayah Mandailing hulu sampai ke hilir.


Tulisan tentang Namora Pande Bosi Oleh Mohammad Said dalam Buku Soetan Koemala Boelan (Flora) adalah: "Dalam tahun 1887 diketahui oleh penguasa Belanda bahwa Raja Gunung Tua (Padang Lawas) menyimpan sebuah patung pusaka dari tembaga, dikenal sebagai patung Bhatara Lokanatha (satu dari seribu nama Dewa Siwa). Patung itu diambil Belanda dan kini disimpan di Museum Pusat Jakarta. Sarnaja Brandes yang segera meneliti patung itu, berhasil menterjemahkan teksnya dalam huruf kawi sebagai berikut:
Brandes tersebut menterjemahkan kalimat permulaaan prasasti di atas ke bahasa Belanda sebagai berikut:
"Heil" Caka-jaren verloopen 946, in de maand Caitra op den derden dag van lichte helft dan de maand of vrijdag, toen heeft Surya, de meester smid did beeld van den). Heere Lokanatha vervaardigd..."
Terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia adalah: "Dirgahayu Tahun Caka 946 bulan Caitra, hari ke-3 bertepatan Juma'at dewasa itulah Surya, panda besi, selesai mengukir (patung) batara Lokanatha ini..."
Diperlihatkan pada teks aslinya tentang tokoh Surya, disebut jurupandai. Pada salinan bahasa Belanda dipertegaskan dengan istilah meester smid, yang artinya tidak lain pandai besi. Ini serta merta mengingatkan kita akan nama Pande Bosi, jelasnya Namora Pande Bosi. Dari ukiran itu dapat dipahami bahwa Surya telah berhasil membuat patung seorang Dewa atau Bhatara yang tentunya untuk dipersonifikasikan menjadi pujaan rakyat dewasa itu. Seorang ahli dan tanpa kuatir akan tertimpa ketulahan menukangi tembaga untuk jadi pujaan, bukannya seorang sembarangan atau tukang biasa saja. Ia tentunya selain ahli adalah juga seorang yang terkemuka, berderajad dan amat disegani. Sedikit banyaknya dengan nama itu biasa juga membuat kita mengarahkan pertanyaan, apakah tokoh itu bukan tokoh zaman dulu yang dikenal rakyat bernama Namora Pande Bosi. Tentunya bukan sekedar kebetulan saja ada seorang jurupandai de meester smid pembuat Patung Tembaga Bhatara Lokanatha, sedangkan ada juga Pandai Bosi yang dikenal oleh rakyat dari abad ke abad. Dari sumber lain dapat ditambahkan, bahwa sebelum Namora Pande Bosi yang bermukim di Hutalobu Hatongga Sigalangan masih ada lagi yang bernama Namora Pande Bosi, yaitu kakek (datuk) dari kakek Namora Pande Bosi yang di Huta Lobu tersebut di atas. Namora Pande Bosi I tersebut bermukim di Padang Bolak Ruar Tonga (Sahit ni Huta).
Ada tiga (3) kemungkinan dapat diperkirakan mengenai zaman generasi Namora Pande Bosi dan keturunannya itu berada , yakni:
1)  Generasi pada zaman Surya tahun 946 atau sekitar tahun 1024 M, karena Surya adalah seorang bangsawan juru pandai besi yang skill dan terkemuka.
2)  Generasi tahun Caka 1287 (1365 M) kerajaan di Mandailing yang tentunya dipimpin oleh seorang tokoh terkemuka, bernama Namora Pande Bosi.
3) Generasi pada zaman yang lebih muda yaitu hanya sekitar abad ke 16 M. Menurut tambo/silsilah (stamboom) yang diperbuat atau disimpan oleh keturunan Soetan Koemala Boelan Raja Panusunan Kerajaan Adat Tradisional Tamiang Mandailing.
Sumber Referensi:
1.  H. Mohamad Said, Soetan Koemala Boelan (Flora), Raja, Pemimpin Rakyat, Wartawan, Penentang

dr:http://patuandolok.blogspot.com